• Kicauan Terakhir

  • Baca Juga

  • Komentar Anda

    debrajoem on 13 Tahun jadi Blogger, Kini Pe…
    Blog Entertainment I… on Sekedar Tips dari Twitter untu…
    Blog Berita Indonesi… on Film Tsunami Aceh Hadir di Lay…
    Blog Teknologi Indon… on Perempuan Aceh dan Arti Sebuah…
    Blog Olahraga Indone… on 13 Tahun jadi Blogger, Kini Pe…
    Yusuf on Makam Tgk Di Cantek, Terlantar…
    Miftah Habibi on 13 Tahun jadi Blogger, Kini Pe…
  • Arsip

  • Kategori

  • Para netter yang doyan ke OWL

    Aulia87.wordpress.com website reputation
    MyFreeCopyright.com Registered & Protected

Film Tsunami Aceh Hadir di Layar Lebar


Mesjid Baiturrahim pascatsunami 2004 (Credit blog Anak Medan)

Mesjid Baiturrahim pascatsunami 2004 (Credit blog Anak Medan)

SAYA awalnya gak yakin novel saya difilmkan, apalagi saya kan akuntan. Bahkan dalam mimpi tak pernah terpikir. Saya belum pernah ke Aceh, tapi saya yakin setiap orang akan mengingat bencana itu. Sebagai penulis saya ingin mengenangnya. Semoga lebih banyak orang bisa dapat hikmah.”

Itulah sepenggal kalimat yang dilontarkan oleh Tere Liye yang tidak lain adalah sang penulis novel “Hafalan Shalat Delisa” seperti dikutip dari Kapanlagi.com, Rabu (21/12).

Novel yang membuat pembaca menitikkan air mata ini memang sekilas bisa menggambarkan apa yang terjadi pada saat tsunami dan gempa bumi mengguncang serta meluluhlantakkan sebagian Aceh. Apalagi kisah yang diangkat dalam novel ini menjadi sebuah titik temu, dimana perjalanan hidup keluarga sederhana di pesisir pantai nan indah, Lhoknga, Aceh Besar.

Pertama kali mengetahui fim ini sejak tahun 2009 lalu, iseng-iseng mencari tahu tentang film tsunami dan akhirnya saya menemukan  sebuah forum daring mahasiswa yang mengangkat thread atau judul “Film Hafalan Shalat Delisa (Coming soon)”. Usut punya usut saya pun penasaran dengan film ini, hampir berselang satu tahun menemukan sebuah e-book dan tidak butuh waktu lama dalam 3 malam hampir tamat membacanya.

Namun sayangnya saya tidak habis membaca akhir dari e-book tersebut karena satu dan lain hal, sehingga akhir yang belum tuntas kembali terngiang saat melihat sebuah buku tersusun indah di sebuah rak, kamar kosan anak-anak Aceh di Jakarta. Karena merasa belum terpuaskan dengan akhir cerita, akhirnya novel ini pun saya pinjam dan khatam sudah membacanya pada tahun ini.

Akhirnya Hadir di Layar Lebar

Bisa dibilang film Delisa (tokoh pemeran utama dalam film tersebut) mengalami banyak perjuangan, film yang dijadwalkan rilis tahun 2010 itu ternyata harus keteteran sampai satu tahun dan baru tayang perdana (premier) di layar lebar pada hari ini (22/12) di Jakarta.

Pantai Lhokmee (Pasir Putih), Aceh Besar salah satu tempat yang sempat disurvei oleh Sky House Production/Foto: Forum ITTelkom

Film yang berdurasi 102 menit ini sempat awal-awalnya dipegang oleh Sky House Production pada awal-awalnya pembuatan sekitar akhir tahun 2009, beberapa lokasi pun sempat dilakukan survei ke Aceh, tepatnya ke daerah pantai Lhokmee atau lebih dikenal dengan pasir putih di Aceh Besar. Bahkan menariknya lagi di Banda Aceh oleh rumah produksi sempat membuka pencarian peran (casting) bagi pemeran –selain Delisa– yang dipusatkan pada salah satu radio di Banda Aceh.

Seiring perjalanan dan perjuangan di atas, akhirnya lokasi syuting film Delisa pun berubah total setelah diambil alih oleh rumah produksi Starvision, dengan alasan wilayah Aceh sudah banyak terjadi perubahan pasca tsunami. “Struktur alamnya sudah berubah, karena itu kita mencari lokasi yang mirip dengan bibir pantai Aceh, sebelum terjadinya bencana.” ungkap Chand Parwez Servia, Produser Starvision, seperti tulis Pelitaonline.com.

Adapun lokasi yang dipilih untuk beberapa adegan yang menggambarkan suasana setelah tsunami bertempat di daerah Ujung Genteng, Kab. Sukabumi, Jawa Barat. Chand Parwez pun mengakuinya untuk visualisasi ke-Aceh-an terasa kurang dalam adegannya.

Pemeran Delisa (Talha, 5 tahun) sebelum yang baru sekarang Chantiq Schagerl/Foto: Forum ITTelkom

Walaupun begitu, ada satu hal yang bisa kita banggakan bahwa kakanda Rafly (@RaflyAceh) menjadi satu-satunya musisi Aceh yang mengiringi film ini lewat soundtrack yang berjudul “Lagu Ibu” terlebih menjadi kenangan double karena bertepatan dengan hari Ibu.

Tapi alangkah bahagianya juga jika Tere Liye segenap kru Starvision juga membuat premier alias datang ke Aceh untuk membawa hasil karyanya dan dilihat oleh orang Aceh secara langsung, bisa jadi inilah apresiasi bahwa orang Aceh juga ingin merasakan kenangan tsunami bersama keluarga besar –Indonesia dan dunia– yang telah ikut membantu Aceh selama 7 tahun ini. Semoga!

Ada satu ucapan yang paling sarat makna dalam novel tersebut (apalagi jika menonton), disaat Delisa mengucapkan sebuah kata cinta dengan terbata-bata yang penuh renungan kepada Umminya, “Delisa…. D-e-l-i-s-a cinta Ummi…. Delisa c-i-n-t-a Ummi karena Allah!”.[]

67 Responses

  1. Itulah. Aku juga dengar soal riset itu, makanya harapanku besar waktu membaca berita akan hadir film ini. Rupanya ekspektasi terlalu besar 😀

  2. Baru tau saya kalo ada film ini. Tapi benar kata @Alex. Dialek itu penting. Saya juga kecewa saat nonton Ayat-ayat Cinta. Saya pikir bakal banyak dialog dalam bahasa Arab di sana. Ternyata bahasa Indonesia semua. Masa semua orang Kairo berdialog dengan bahasa Indonesia? Hehehe….

    • iya jika ingin mendalami detail dan pembuatan film memang cukup komplek, kita sebagai penikmat tentunya bisa menilai, AAC, KCB dan berbagai film yang diangkat dari novel berbagi apresiasi dan kritik tetap saja, kita doakan semoga ke depan bisa lebih baik dan belajar banyak cineas Indonesia 🙂

  3. Mmm..penasaran pgn liat film nya…:)

  4. terasa amat to alur ceritanya

  5. Miris dan sedih banget tiap teringan bencana tsunami aceh. Saat itu masih SMA saya, beritanya gencar banget di televisi, khususnya Metro TV

Komentar berisi spam dan SARA, tidak akan ditayangkan!