JUJUR ini tulisan bukan kisah atau sejarah, apalagi mau mengungkap soal negeri di atas angin itu. Ini hanya sepenggal nasihat dari Abu yang berkesempatan memberikan pemahamannya kepada jamaah sekalian.
Hari Jum’at, (13/2/2015) lalu tepatnya di Masjid Jamik Peusangan yang bertindak sebagai khatib, yakni Tgk H Mustafa Ahmad atau akrap disapa Abu Paloh Gadeng.
Dalam mimbar singkat tersebut, ditengah hiruk pikuk dan kesibukan lainnya dari ulil amri membicarakan pelarangan perayaan tanggal 14 Februari, Pimpinan Dayah Madinatut Diniyah Paloh Gadeng, Kecamatan Dewantara ini mengangkat tema yang sangat terbilang langka dan bernilai dalam khutbahnya, yakni soal Syariat dan manusianya.
Manusia yang Bersyariat
Betapa banyak gedung-gedung atau perkantoran di Aceh bertuliskan dengan bahasa Arab, dan betapa banyak masjid-masjid megah juga berdiri di Nanggroe ini, namun yang menjadi pertanyaan batin dari setiap manusia yang hidup di atas tanoh Seurambi Mekkah adalah sebutan –Syariat Islam– yang terkadang berat untuk untuk disandang.
Sudahkah masyarakat Aceh bersyariat ditengah-tengah sebutan negeri Syariat Islam? Benda mati, bangunan, baliho, spanduk dan segala jenis yang alat peraga sering digunakan untuk mengajak manusia patuh dan taat anjuran, namun dibalik itu semua, aqidah manusia jarang ada yang bisa menjangkau sejauh mana.
Terkadang ada orang mengaku dan beridentitas dengan Islam, tapi sayangnya tidak belajar ilmu agama, ini sering kita jumpai di Aceh. “Fenomena di Aceh saat ini rentan dengan regenerasi ilmu agama yang semakin berkurang, beuo jak beut, ujong jih beuo pubut (malas belajar ilmu agama, ujungnya tidak mau mengerjakan),” jelas Abu.
Abu juga memberikan penjelasan secara saksama soal hilangnya agama pada sebuah negeri. “Tanda-tanda agama kagadeh bak saboh nanggroe, jeut takalon dumna ureueng agam nyang jak u masjid watee uroe jumuat, ladom hana deuh ureueng agam di gampong takalon, teuma watee tacek dum di dalam rumoh,” ujarnya.
Dalam paparan sekitar setengah jam di atas mimbar, Abu sangat menekankan soal manusia yang bersyariat lewat ilmu dan perbuatan. Beliau mengisahkan ketika tahun 1996 pada masa kepemimpinan –Gubernur Aceh ke-14 periode 1993-2003– Syamsyuddin Mahmud, sejumlah ulama di Aceh diminta untuk melakukan studi banding (29 Juli – 16 Agustus 1996) ke beberapa negara seperti Malaysia, Yordania, Spanyol, Turki, Uzbekistan, Mesir, dan Arab Saudi.
“Waktu itu kami sampai ke sebuah daerah Bukhara (Uzbekistan), dimana tempat perawi hadist terkenal Imam Bukhari dilahirkan, betapa jayanya Islam dimasa itu hingga ke generasi berikutnya. Tapi apa yang terjadi saat kami berkunjung, masjid Imam Bukhari yang memang dulu tempat ulama ini memberikan dakwah dan pelajaran kepada murid dan masyarakat, sekarang hanya menjadi tempat yang dipenuhi debu, kotoran cicak dan burung, untuk shalat sudah tidak bisa,” cerita Abu yang waktu itu berangkat bersama rombongan.
Dalam perjalanan tersebut, Abu bersama rombongan juga berdiskusi dengan masyarakat di Bukhara dan Samarkand tentang agama Islam yang dianut. “Kami melihat anak-anak muda disini Islam, namun sayangnya surat Al-Fatihah mereka sudah terbata-bata disaat kami meminta mereka untuk membaca,” katanya dari hasil diskusi tersebut.
Rasa penasaran rombongan ulama dari Aceh ini terjawab, saat berdiskusi dan bertanya dengan salah satu tetua dari masyarakat yang sudah berusia lebih dari 80-an tahun.
“Apa yang membuat orang-orang Islam disini begitu terbata dengan ilmu agama, padahal mereka Islam?” tanya mereka rombongan dari Aceh.
“Ilmu agama disini telah terputus, sejak Uni Soviet mengambil alih dengan paham komunis. Delapan puluh tahun sudah, azan-azan tidak boleh lagi berkumandang, tempat pendidikan agama dilenyapkan, pertemuan baik perorangan dan kelompok yang membahas soal agama dibubarkan oleh pemerintah,” jelas tetua masyarakat Bukhara kepada rombongan Aceh.
Akhirnya Abu menyimpulkan dari salah satu contoh yang beliau lihat dan saksikan di Bukhara dan Samarkand pada waktu itu, ilmu agama yang terputus dari generasi ke generasi, tidak ada lagi syiar Islam, telah membuat negeri yang dulu terkenal dengan cahaya Islam redup.
Islam-nya masih ada, tapi masyarakat dan anak-anak muda disana tidak lagi mengenal agama yang dianutnya. Inilah yang disebut hilangnya Islam pada sebuah negeri.
“Maka menjadi tugas berat sekarang ulama di Aceh adalah mengajak lagi masyarakat mengenal agama, bagaimana mau melakukan perintah agama kalau ilmunya saja tidak cukup? Kita perlu mengembalikan syariat pada manusianya, bukan pada benda mati. Tauhid, ilmu, dan amalan dari perbuatan itu yang harus ada di setiap diri manusia yang ada di Aceh,” pesan Abu kepada ribuan jamaah Jum’at.
Begitulah kurang lebih pesan dari khutbah Jum’at dari salah satu ulama Aceh ini, sekarang kita bisa menilai bagaimana masyarakat Aceh yang hidup dengan Islam. Banyak (masyarakat) yang berkomentar soal syariat yang melekat dengan nama Aceh, tapi disatu sisi masih banyak (masyarakat) yang luput dengan kelakukan dan tindakannya yang bersyariat itu sendiri, mungkin saya sendiri dan kita semua tidak sadar akan hal itu.
Intinya adalah syariatkan dulu manusia yang berakal pada ilmu dan perbuatan yang sesuai dengan tuntutan agama, sudah barang tentu negerinya pun akan menjadi cerminan syariat dan madani. Walaupun terkadang (kita) berteriak sebaliknya dan lalu menertawai sesama manusia. Wallahu’alam*** Matangglumpangdua
Filed under: Aceh Hari Ini, Agama | Tagged: Abu Paloh Gadeng, Khutbah Jum'at, Serambi Mekkah, Syariat Islam, Tgk H Mustafa Ahmad |
tanda-tanda akhir zaman?
Perkara tanda-tanda memang sudah masuk masanya bang Jampang, ini jauh sudah terlihat dimana usia dunia ini semakin tua dan kelakuan orang di dalam dunia juga semakin ‘membara’ dalam agama.
tapi mudahan kita semua suda meninggal saat hari kiamat datang, kan seburuknya umat yang hidup di akhir jaman
from kota balikpapan
prihatin sekali dengan perkembangan islam di uzbekistan yang meredup, mudah-mudahan islam bisa kembali jaya di sana.
Amin
benar sekali, seruan syariat tidak cukup, tapi yang penting adalah realisasinya dalam kehidupan nyata yang syariat jauh ebih penting
Karena seruan terkadang tidak sesuai dengan lapangan, maka dari itu realisasi jauh lebih ekstra dalam kehidupan bermasyarakat 🙂
syariat ilmu adalah tujuan kenapa rasullulah di turunkan ke bumi ini,setelah beliau wafat para sahabat pun meneruskan syariat ilmu tersebut,bukan menggurui namun lebih tepat nya mencerah kan itu lah manfaat dari islam
AUL, sepertinya da hubungan dengan psotingan saya baru baru ini,
hmmm da yang mengatakan jika hukum syariat islam di ACEH hanyalah sekedar kamuflase. WALLAHU A’LAM
Nah, itu dia bisa jadi. Nanti segera mau cek ke TKP ya buk 🙂
hehehe…sip pak. silahkan
di zaman yang seperti saat ini memang yang namanya syariat agama udah mulai luntur
Makanya dari itu kata syariat pun menjadi sesuatu yang biasa orang sebut, karena melunturnya nilai dari syariat itu sendiri.
iya juga sih…. tapi mungkin hal itu bisa berkurang jika kekhalifahan turki otoman tidak runtuh akibat perang dunia 1
oiya blog anda sudah saya follow dan saya boleh minta tolong gak, anda follow juga blog saya ? terimakasih…
Terima kasih mas Yoga, salam blogwalking dan follow balik 🙂
tapi kok blm difolow ya blog saya
Sudah di follow, apakah tidak ada notifikasinya?
tidak… blog saya http://www.teknooksigen.wordpress.com
Sudah terfollow, jadi tidak bisa follow lagi nih 😀
mungkin akan datang jika waktunya telah tiba #apasih