MENGINJAK kaki di Banda Aceh menjadi satu tujuan wisata religi yang menarik untuk dikunjungi. Banda Aceh yang merupakan pusat pemerintah Propinsi Aceh sarat dengan berbagai kisah pusat peradaban dunia masa kesultanan dulu atau lebih dikenal dengan kerajaan Darud Donya.
“Wisata Religi” itulah sebuah tema kecil untuk jejak petualang kami pada hari Jum’at (19/8), pagi hari yang sangat cerah mewarnai langkah kami untuk berkunjung ke salah satu tempat wisata di Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh.
Tidak begitu jauh dari pusat kota Banda Aceh, hanya perlu 10 atau 15 menit kita sudah bisa sampai ditempat peninggalan atau bisa disebut kampung orang Turki jaman dulu.
Nama kampung itu dikenal dengan Bitai atau masyarakat sekitar mengenal dengan Komplek Makam Tengku Dibitay (seperti tertulis di gapura, -red), bagi yang menggunakan GPS bisa mengarahkan pada titik koordinat 5° 32′ 15.98″ N 95° 17′ 30.58″ E .
Melihat Sejarah Mesjid di Bitai
Dalam ruang galeri di kompleks Makam Tengku Dibitai, kita akan menemukan tiga tulisan seputar sejarah kedatangan orang-orang Turki tersebut sampai ke Banda Aceh ini. Yang pertama bisa kita lihat asal usul sebuah mesjid, yang konon itu merupakan tempat semacam dayah yang digunakan oleh Tengku Dibitai sebagai tempat untuk mengajarkan ilmu agama atau pengajian pada masyarakat setempat.
Kini tempat yang menjadi bagian dalam komplek makam tersebut sudah disulap menjadi mesjid. Mesjid yang terletak berdekatan dengan makam Tengku Dibitai. Dari keterangan yang kami peroleh di galeri kecil tersebut, mesjid yang berdenah segi empat dengan arah timur barat, dulunya menggunakan bahan batu dan kayu.
Namun, setelah gempa dan tsunami tahun 2004 silam, mesjid akhirnya dipermak kembali dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur warisan dari sisi dan bentuknya.
Pola dari mesjid tersebut awalnya dibagian tengah terdapat sako guru yang menjulang ke atas puncak mesjid, konon jika dilihat secara sekilas pemasangan konstruksi balok dan pasak tampak seperti mesjid tradisional negera Turki.
Dulunya, di dalam mesjid juga terdapat sebuah mimbar yang terbuat dari batu. Ukuran mesjidnya pun tidak terbilang luas, hanya 9,10 x 9 meter dengan ketebalan dinding 0,62 meter.
Disaat kami mulai melihat-melihat isi galeri kecil diseberang makam tersebut, kami pun disapa oleh Ibu Azimah, beliau adalah anak dari Tgk. H. Abdul Aziz bin Syeikh Ismail yang merupakan keturunan ke-9 dari Tengku Dibitai.
Banyak hal-hal yang menarik disampaikan oleh Ibu Azimah ini, sambil melihat-lihat deskripsi singkat di dinding beliau juga menceritakan seputar masa silam kedatangan bangsa Turki tersebut ke Aceh.
Awal perbincangan pun dimulai dari kata Bitai atau Bitay, dari mana kata tersebut bisa menjadi nama kampung sampai saat ini. Dulunya, Bitai dikenal dengan perkampungan para ulama baik yang datang dari Pasai dan Pidie. Ulama-ulama itu banyak berasal dari Negara Baitul Muhadis (ada yang menyebut Baitul Muqaddis). “Mereka itu datang ke sini (Aceh, -red) berombongan dengan kapal-kapal besar, Bitai itu sendiri hanya sebutan orang Aceh untuk kepanjangan Baitul Muhadis,” ujar Azimah.
Azimah juga menambahkan, kalau dibelakang komplek Tengku Dibitai terdapat pelabuhan. “Jadi dulunya orang-orang ulama ini datang dan singgah ke kampung ini langsung lewat pelabuhan dibelakang ini, memang kini tidak ada bekas lagi setelah tsunami, belakang komplek telah disulap jadi irigasi,” tambahnya.
Menariknya, beberapa daerah yang bisa dibilang tetangga dengan Bitai juga menjadi daerah-daerah sentral Turki pada waktu itu, seperti Emperum (Emperom) dan Lam Jame. “Kata Lam Jame itu awalnya berasal kisah tamu-tamu (Jamee, bahasa Aceh) Tengku Dibitai yang datang ke Aceh dari Palestina dan singgah ke sini, namun musibah menimpa mereka disaat belum sampai pada pelabuhan, kapal mereka tenggelam (Lham, bahasa Aceh) semua, maka daerah itu disebut Lam Jame (Tamu yang tenggelam) dengan aksen orang Aceh,” ceritanya panjang lebar.
Banyak hal baru juga yang kami tahu dari penuturan Ibu Azimah ini, pada waktu tsunami menggunjang Aceh 26 Desember 2004 silam, komplek Tengku Dibitai tidak begitu parah, walaupun beberapa batu nisan sempat terbawa air dan ditemukan kembali. Yang uniknya, saat musibah tersebut di komplek ini tidak ada mayat korban tsunami yang bersarang, hanya ada satu batu besar tempat dimana dulunya Tengku Dibitai berwudhu berpindah dan menjadi lebih kecil.
Kisah Kedatangan Turki ke Aceh
Dalam sebuah bingkai kaca, kita bisa menjumpai tulisan singkat tentang sejarah makam Tengku Dibitai yang memiliki luas area 500 meter persegi.
Perkembangan Islam di Bitai pada waktu itu sangat termasyur dan maju, karena banyak orang luar Aceh yang belajar untuk memperdalam agama Islam, termasuk dari Palestina, Iran, dan negara Timur Tengah lainnya.
Bagi yang belajar di Aceh mengembangkan lagi di negaranya masing-masing. Maka semakin majulah perkembangan Islam masa itu. Raja-raja yang menganut agama Budha akhirnya masuk Islam karena tidak diperbolehkan kepala Negara Budha pada saat itu. Disamping mengembangkan agama Islam, para kepala Negara itu juga mengadakan kerja sama pada bidang ekonomi. (dagang) dan menjalin hubungan yang baik pada masalah ketahanan Negara.
Turki membantu Aceh memberikan perlengkapan perang. Masa pemerintahan Sri Sultan Salahuddin yang mangkat pada tahun 1548 M, hanya memerintah 28 (Dua Puluh Delapan) tahun tiga bulan. Masa pemerintahannya mempunyai agenda meningkatkan pendidikan dan hubungan kerja sama dengan negara-negara lain seperti Turki, tanah melayu, Pakistan dan Arab Saudi.
Raja dan keluarganya Turki dan masyarakat yang berada di negeri Kedah umumnya beragama Islam dan akhirnya orang Turki menikah dengan orang Aceh yang tinggal di Bitai. Pada saat wafatnya Raja Salahuddin, orang Turki yang merupakan sahabatnya, memberikan wasiat bahwa pada saat meninggal dunia mereka minta dimakamkan saling berdekatan yaitu di Komplek Situs Makan Tuanku Di Bitai.
Jumlah makam secara keseluruhan lebih kurang 20 (dua puluh) makam diklarifikasikan, makam dari batu cadas berjumlah 7 (tujuh) makam. Makam dari batu sungai berjumlah 18 (delapan belas) makam.
Secara keseluruhan batu nisanya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa arab. Segi delapan mewujudkan delapan sahabat dari Aceh, Tukri dan Saudi Arabia. Pada bagian bawah nisan terdapat pola luas tumpal, puncak nisan cembung diatasnya terdapat lingkaran sisi delapan.
Sekian kisah wisata religi kami ke komplek Tengku Dibitai, banyak orang Turki yang melancong ke Aceh pasti sering menyempatkan diri untuk berkunjung kesini, begitulah kata Ibu Azimah diakhir perjumpaan kami.
Anda tertarik ke Turki? 😉 eh maksudnya ke “Turkish Graveyard”, tidak usah jauh-jauh dulu ke Turki di Aceh masih banyak tersimpan jejak mereka. Sampai jumpa di wisata lainnya.[]
Tim Wisata Religi: Iqbal Bege, Ary Firmana, Ibnu Sina aka Popon, Ryan Hasri, Hafifullah Khalis (fotografer), dan saya sendiri beserta Murtadha MJ sang pendamping.
Ralat dan Klarifikasi (20 Oktober 2013)
Per tanggal 19 Oktober 2013, sebuah komentar masuk di blog ini perihal kekeliruan dari pengakuan Azimah (foto wanita/ibu di atas). Komentar tersebut datang dari atas nama Lukman.
“Azimah bukan anak Teungku Abdul Aziz, dia tukang bohong. kakeknya kek Ahmad. bapaknya memang bernama Abdul Aziz, tetapi bukan Teungku Abdul Aziz ahli waris Tgk Di Bitay. sms lukman 08129596897,” sebutnya.
Menyikapi hal ini, laporan yang saya dapat juga sama dengan yang diutarakan oleh Rachmad Yuliadi Nasir terkait penyanggahan bahwa Azimah bukanlah keturunan dari Tengku Dibitai, penjelasan tertera disini.
Demikian klarifikasi dan ralat ini disebutkan dalam blog OWL, semoga terdapat kejelasan yang semestinya. Terima kasih atas perhatiannya.
Filed under: Agama, History | Tagged: Jejak Turki di Aceh, Lam Jamee, Sejarah Aceh, Selahaddin, Selahaddin Graveyard, Sri Sultan Salahuddin, Tengku Dibitay, Turkish Graveyard Banda Aceh, Wisata Religi |
Asik nih, wisatanya ke Aceh 😀
penyampaian informasinya juga asik, enteng, gampang dimengerti 😀
Kapan2 saya diajak wisata dong… sekalian dibayarin juga :p
waduh geng, kalau yang terakhir saya jadi berat di ongkos :))
ke Aceh murah kok, apalagi lewat darat/laut asal backpacker itu mudah, terima kasih sudah berkunjung ke sini ya 😉
wauw indahnya panorama nusantara terutama di Aceh..
sayang ya sangat jauh dari jawa…melihat gambar di atas rasa penasaran g hilang2
Kalau perjalanan lewat udara cuma 3 jam kok kang, ditunggu kedatangannya, siapa tahu bisa mendapatkan jejak bangsa lain disana dan bisa terobati rasa jauh perjalanan 🙂
join to HajarAbis
Cekidot
http://www.hajarabis.com
Aceh yg luar biasa. Suatu saat saya harus menjejakkan kaki saya di serambi mekkah. Amin Allahumma Amin
Salam blogger nusantara
Amin, semoga disuatu hari ini bisa kesampaian mas niatnya ke Aceh 🙂
sepertinya mirip gambar Banner saya yang saya pasang di blog saya di kanan atas.
kalau boleh titp banner blog saya di blog ini.
Benar sekali dan disana kita bisa menjumpai banyak sekali bentuk bulan bintang dipagarnya 🙂
join to hajarabis
waaaaah, ada racun lagi di sini 😉
padahal masih banyak racun lain lho mba, tapi belum sempat disebarin nih hehehe 😀
Azimah bukan anak Teungku Abdul Aziz, dia tukang bohong.
kakeknya kek Ahmad. bapaknya memang bernama Abdul Aziz, tetapi bukan Teungku Abdul Aziz ahli waris Tgk Di Bitay.
sms lukman 08129596897
Menarik nih, saya tunggu tulisan dari Pak Lukman juga kalau begitu atau bisa kirim ke saya juga 🙂
Copas aaaah.. Tadi kesana hana ureung le hehe tempatnya juga dah amburradul
Padahai barosa na awak Turki troek keunan
oman.. adak na lagee nyan.. kan pah tat jeut na meurumpok info 🙂