• Kicauan Terakhir

  • Baca Juga

  • Komentar Anda

    Blog Berita Indonesi… on Film Tsunami Aceh Hadir di Lay…
    Blog Teknologi Indon… on Perempuan Aceh dan Arti Sebuah…
    Blog Olahraga Indone… on 13 Tahun jadi Blogger, Kini Pe…
    Yusuf on Makam Tgk Di Cantek, Terlantar…
    Miftah Habibi on 13 Tahun jadi Blogger, Kini Pe…
    Noer on 13 Tahun jadi Blogger, Kini Pe…
    morishige on 13 Tahun jadi Blogger, Kini Pe…
  • Arsip

  • Kategori

  • Para netter yang doyan ke OWL

    Aulia87.wordpress.com website reputation
    MyFreeCopyright.com Registered & Protected

Agama dan Aspirasi Dunia Akhirat Orang Aceh


Miss Aceh Fair

Ilustrasi/acehfair.acehprov.go.id

MEMBICARAKAN aspirasi tidak lepas dari membaca komentar atau pandangan orang-orang disekitar kita. Dalam sebuah grup jejaring sosial saya sempat memberikan satu topik tulisan opini seseorang pada sebuah media lokal tentang kontes –Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefiniskan kontes sebagai [n] perlombaan (kecantikan dsb)— yang lazim dikenal saat ini dengan Miss, Puteri atau lainnya.

Namun, saat merujuk pada kata duta di KBBI memang memiliki arti yang jauh berbeda. Apa pun itu nantinya yang akan dipakai saat melengkapi kata kontes, lalu ditasbihkan dengan sebutan mewakili sebuah daerah atau negara bisa disebut juga sebagai duta/wakil.

Lagi-lagi saya mengangkat Aceh dalam hal ini, karena terkait sebuah opini yang saya lemparkan pada grup tersebut.

Entah sejak kapan Aceh mengirimkan atau mulai ikut dalam kontes ditingkat nasional seperti Miss Indonesia (MI) dan Putri Indonesia (PI). Namun, kehebohan yang terjadi pada 2009 sampai saat ini belum berakhir, dimana Qory Sandioriva yang disebut-sebut mewakili Aceh mengalami beragam kontroversi dalam ajang pemilihan Putri Indonesia.

Desas desus yang terdengar untuk Miss Indonesia 2011, perwakilan dari Aceh dimotori oleh agen model yang berada di Aceh via jalur Medan. Berhubung Medan menjadi salah satu tempat yang direstui oleh panitia MI untuk melakukan seleksi sebelum melaju ke tingkat nasional.

Nasib kurang beruntung ternyata masih memihak pada empat orang wakil dari Aceh ini, nama-nama yang telah disamarkan tersebut mengikuti audisi dan akhirnya tidak ada yang mewakili Aceh secara wilayah.

Ternyata dari hasil pantauan saya, seperti yang pernah dilansir oleh Acehkita.com, perwakilan yang membawa nama NAD (tulisan diselempangan) tersebut adalah dara Medan, Mellyza Shavira.

Puncak acara pemilihan MI 2011 yang berlangsung Jum’at malam (3/6), di Ballroom Central Park, Jakarta. Wakil dari NAD tidak masuk dalam 10 besar dengan kategori Miss yang bertalenta dan berpotensi. Sehingga, “miss NAD kajeut woe u gampong”, seperti tulis seorang Twuips di status Twitter-nya pada malam itu.

Agama dan Aspirasi
Terlepas dari berbagai pro dan kontra, masalah izin dan perwakilan, banyak hal yang bisa ditilik dari aspirasi masyarakat dan sisi agama. Mungkin ada juga dari sisi lain yang belum bisa diekspos, sejauh mana peran para wakil dengan nama “Miss” ini dalam mengemban tugas “mulia” menurut panitia penyelenggara.

Tanpa harus mengungkit apa yang pernah disampaikan oleh Dr. Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P & K) ditahun 1977-1982 yang sempat mengatakan ajang pemilihan Miss atau ratu kecantikan merupakan bagian dari “Sapi Perah” yang sempat mencuat dipublik pada masanya itu dan bahkan sampai saat ini.

Melihat dari sisi aspirasi semua orang berhak mengatakan bahwa untuk Aceh tidak pantas ikut ajang sekelas itu, alasan yang kuat karena Aceh dikenal dengan sisi religius yang masih menghargai hak-hak perempuan dengan cara apa pun itu.

Kendati demikian, melarang hak seseorang untuk tidak bisa bergerak juga merupakan sebuah bentuk pelanggaran, namun ada kalanya dimana hak-hak tersebut akan dibatasi oleh apa yang diharapkan orang banyak/mewakili sebuah daerah yang berujung pada pencitraan yang salah.

Hal ini terlihat dari berbagai tuntutan dan gugatan masyarakat, organisasi, lembaga-lembaga keagamaan kepada pihak Pemerintah Aceh melalui Gubernur, DPR Aceh beserta Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) untuk tidak pernah memberikan izin kepada dara-dara Aceh dalam mengikuti kontes serupa yang bisa mendatang mudharat dan image negatif bagi Aceh.

Adakah Solusi?
Jika pun pertanyaan itu muncul, mungkin salah satu solusi yang bisa diberikan adalah kesadaran diri dan tanggungjawab dari orang yang akan mengikuti ajang kontes tersebut. Sejauh mana nilai-nilai agama serta adat dan budaya yang dimilikinya dan juga aspirasi yang bisa mewakili sebuah daerah itu bisa diperjuangkan nanti.

Apa mungkin disaat pihak penyelenggara menyatakan setiap peserta kontes tidak boleh menggunakan kerudung atau jilbab, lalu mereka yang ingin ikut serta merta merelakan untuk melepaskan kewajiban mereka itu (Al Ahzab: 59). Ibarat kata menanggalkan sebuah perintah agama lalu tunduk pada perintah manusia.

Namun, wajarkah jika pembelaan seperti itu berakhir begitu saja? tentu saja tidak. Disinilah titik balik, mereka yang kiranya mempunyai hak juga harus menunjukkan suara kepada pihak penyelenggara, bahwa jika tujuan akhir dalam kontes tersebut adalah untuk mempromosikan pariwisata dan martabat bangsa tentu tidak harus dengan melepaskan jilbab, lalu saat ajang tingkat dunia memakai bikini adalah kewajiban tentu bisa ditolak dengan baik.

Bukankah dalam menjaring bibit-bibit yang mewakili daerah ini orang-orang yang cerdas, terpelajar dan terampil dalam budi pekerti dan berani? jadi untuk menggebrak aturan itu bisa saja dilakukan disaat kondisi yang seharusnya tidak lagi membela hak-hak peserta. Jika itu dilakukan terus menerus dengan alasan kuat, bukan tidak mungkin aturan pihak penyelenggara bisa berubah. Kembali lagi caranya itu dengan komunikasi antara kedua belah pihak.

Namun, jika kontes seperti itu memang telah ditunggangi oleh kepentingan pihak luar dalam rangka meraup untung dan digunakan pihak dalam (baca: penyelenggara di Indonesia) sebagai kambing hitam tentu ini menjadi alasan bahwa ajang seperti itu harus dihapuskan dan untuk Aceh sendiri tidak ada lagi yang namanya perwakilan atau mengatasnamakan wilayah Aceh.

Disaat pelecehan hak-hak perempuan itu dilakukan secara terang-terangan, maka disaat itulah mereka harus menjawab dan menolak itu secara bijak kalau memang tidak mau disebut sebagai “sapi perah” orang luar.[]

44 Responses

  1. Saya hanya bisa terdiam. 😐
    Iya juga ya….

  2. sekarang yang dikontesin dalam MI atau PI itu apa sih?
    kemolekan tubuh….?
    Menggairahkan kah body peserta?

    Kalo memang itu yang dicari panitia MI atau PI, bubarkan aja itu panitia,…

    MI atau PI diselenggarakan untuk mencari dara Indonesia yang berkwalitas, dalam pemikiran,dan dalam Penampilan. itu sudah cukup.

Komentar berisi spam dan SARA, tidak akan ditayangkan!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: